Sabtu, 10 November 2012

RAGAM SISTEM KOMUNIKASI POLITIK DENGAN KARAKTERISTIKNYA

Dalam kajian ilmu komunikasi (komunikasi politik) terdapat empat macam sistem komunikasi, yaitu : sistem otoriter, sistem liberal, sistem komunis, dan sistem tanggung jawab sosial. 1. Sistem Otoriter (authoritarianism) Dasar pemikiran Sistem Otoriter muncul dari para tokoh seperti Machiavelli (Il Principle, 1450), Thomas Hobbes (De Cive), dan G.W. Friederich Hegel (“Grundlinien der Philosophie des Rechts”). Kesimpulan dari beberapa buah pemikiran tokoh-tokoh tersebut yaitu : 1. Negara merupakan organisasi kekuatan belaka (loutere machtsorganisatie) atau “machstaat”. Artinya adalah mempertahankan kekuatan dan menjalankan kekuatan, karena yang diutamakan adalah hanya kepentingan Negara. Apabila perlu, maka Negara menindas kepentingan individu guna kepentingan Negara (Machiavelli, Il Principle). 2. Negara perlu diberikan kekuatan yang tak terbatas atau disebut “leviathan mahakuasa”. Masyarakat perlu mengadakan perjanjian Negara (factum unionis) yang melahirkan Negara sebagai dasar penyerahan semua hak rakyat kepada organisasi itu (Thomas Hobbes, De Cive). 3. Tujuan Negara yaitu menyelenggarakan kepentingan umum. Di atas Negara tidak ada kekuasaan lain. Negara adalah kekuasaan tertinggi di atas dunia. Semua masyarakat dapat berpartisipasi dalam upaya pemerintahan, namun akan tampak jurang pembeda antara penguasa sebagai pemimpin, dan rakyat sebagai yang dipimpin (G.W. Friederich Hegel, Grundlinien der Philosophie des Rechts). Sistem otoriter memiliki ciri-ciri sebagai beikut : 1. proses komunikasi berlangsung secara vertikal 2. feedback dari rakyat hampir tidak tampak 3. tema pesan komunikasi dalam bentuk: menumbuhkan sifat-sifat pengkultusan, mewujudkan loyalitas pengabdian, orientasi kewilayahan, mewujudkan integrasi sikap, perilaku terhadap sistem dogma Negara 4. pendapat umum tidak berkembang bahkan cenderung tidak ada 5. media massa dikendalikan dan dikontrol secara ketat. 2. Sistem Libertarian ( Libertarian System) Konsep-konsep pemikiran tentang sistem libertarian berawal dari adanya “Piagam Agung” atau Magna Charta pada tahun 1225 yang berisi pengakuan raja absolute atas hak-hak istimewa kaum bangsawan. Pengakuan tersebut merupakan tonggak aspirasi demokrasi dan tonggak hak-hak azasi manusia. Sejumlah tokoh yang terilhami oleh Magna Charta adalah seperti Montesquieu, John Locke, dan Joseph Scumpeter dan Milton. Kesimpulan yang bisa diambil dari pemikiran tokoh-tokoh tersebut diantaranya : 1. Montesquieu dan John Locke menghubungkan pandangan mengenai masyarakat yang berubah dengan pandangan mengenai pemerintah yang stabil melalui pemecahan “liberal”. Warga Negara mengadakan pengawasan terhadap kekuasaan eksekutif dilakukan oleh suatu lembaga yang menyalurkan aspirasi rakyat, yaitu “lembaga legislatif”. 2. Joseph Scumpeter mengartikan bahwa demokrasi liberal muncul dengan sistem ekonomi kapitalis. Peran rakyat dalam suatu masyarakat demokrasi adalah tidak untuk memerintah atau bahkan untuk menjalankan keputusan umum atau kebijaksanaan politik. Peran rakyat melalui pemilihan umum adalah untuk menghasilkan suatu pemerinrtahan atau badan lainnya. 3. Dokumen anti authoritarianism yang disebut “Milton’s Aeropagatica” mengungkapkan tentang kebebasan pers yang berlandas pada pemikiran manusia yang memiliki kearifan. Milton berkeyakinan bahwa manusia dengan kearifannya akan mampu membedaan antara yang baik dan buruk. Menurut Milton manusia berdiri sendiri dan rasional. Adanya Negara hanya bagian dari alam sekitar untuk kepentingan manusia, karenanya manusia dapat mengembangkan potensi dirinya dan dapat mencapai kebahadiaan semaksimal mungkin. Dalam sistem libertarian setiap individu manusia bebas untuk memasarkan ide, pendapat pikiran, kritik baik melalui media massa maupun melalui cara-cara lain selama dijamin undang-undang. 3. Konsep Social Responsibility (Tanggung jawab sosial) Berbeda dengan sistem lainnya, sistem tanggung jawab sosial tidak dikualifikasikan sebagai suatu sistem, karena belum ada satu Negara pun yang dapat dijadikan tolak ukur untuk memberi penilaian terhadap konsep tanggung jawab sosial. Karena itu konsep ini lebih bersifat kajian-kajian teoritis dan ide-ide keilmuan. Hal ini dapat diperhatikan dari pernyataan John Merril sebagai salah seorang konseptor konsep ini. Menurut Merril konsep social responsibility memberi keganjilan, karena Uni Soviet sebagai penganut faham Marxisme mengklaim bahwa pers Uni Soviet berdasar kepada “social responsibility”. Konsep social responsibility merupakan modifikasi dari konsep liberal klasik. Kajian ini berada di ambang semu yaitu berada diantara authoritarianism dengan libertarianism. Apabila Negara terlalu jauh mengadakan pengendalian dan control yang ketat terhadap pers khususnya dan proses komunikasi umumnya, maka konsep bergeser ke authoritarianism. Sebaliknya apabila Negara memberi kebebasan maka konsep cenderung ke kajian system libertarianism. Menurut Rivers, pemerintah tidak perlu turut campur dan mengadakan control terlalu jauh. Apabila “social responsibility” ditentukan oleh jurnalis tentu akan memuaskan. Sebaliknya apabila diatur oleh pemerintah, maka tak ubahnya seperti system authoritarianism yang ketat oleh berbagai aturan. 4. Sistem Komunis Sistem komunis atau totaliter menempatkan seluruh sumber komunikasi berikut pengelolaan media massa berada pada tangan pemerintah dan partai komunis. Sistem komunis berpola pada hasil pemikiran Karl Marx yang mengangkat teori “Historis Materialisme” yang menjadi doktrin komunis. Karakter yang muncul dalam sistem komunis tidak tampak jelas antara subsistem suprastruktur dengan subsistem infrastruktur. Karena kehidupan infrastruktur politik (partai politik) menyatu dengan suprastruktur. Hal ini mengandung makna bahwa partai politik selain sebagai lembaga infrastruktur berada pula pada suprastruktur, bahkan partai politik mengendalikan suprastruktur politik. Karena itu sumber-sumber kehidupan termasuk sumber-sumber komunikasi berada pada pemerintah dan partai komunis (sebagai suprastruktur politik) atau seluruh kehidupan negara bersifat sentralisasi. Sistem komunikasi yang berdasar ajaran Marxisme bersifat tertutup terhadap nilai-nilai luar. Pada dasarnya sistem komunis menunjukkan karakter yang sama, baik dalam sentralisasi pengelolaan sumber komunikasi maupun pengelolaan bidang media massa. Di Cina, orang-orang non professional koresponden bertugas mengkopi tulisan wartawan. referensi : Dan Nimmo, Komunikasi Politik Khalayak dan Efek

Ide atau Gagasan tentang Gaya Kepemimpinan di Indonesia

Indonesia mengalami krisis multidimensi sampai detik ini. Krisis tersebut mendera berbagai bidang, mulai dari ekonomi, politik, budaya, sains, kesehatan, dan kemanusiaan. Seakan tidak ada jalan keluar dari semua krisis tersebut. Adapun salah satu krisis yang paling nyata kita hadapi adalah krisis kepemimpinan. Kita mengalami kegamangan dalam memilih tipe kepemimpinan yang tepat untuk negeri kita yang tercinta. Ada sebagian intelektual, yang menganjurkan ‘westernisasi’, yaitu secara total mengikuti gaya kepemimpinan Amerika Serikat atau Eropa. Ada juga sebagian yang merasa panik dengan gelombang globalisasi dan westernisasi, dan memilih berlindung di balik jubah primordialisme, entah berbasis agama, etnis, atau ras. Jaman sekarang, seakan-akan suri teladan dari founding father kita, yaitu Soekarno-Hatta, untuk memadukan timur dan barat seakan sudah dilupakan. Era globalisasi mengharuskan kita melakukan redefinisi mengenai makna kepemimpinan. Bukan bersandar pada romantisme masa lalu semata, namun juga bukan semata melakukan imitasi buta. Gagasan saya mengenai gaya kepemimpinan di Indonesia adalah seorang pemimpin yang mampu mengawal program kerja dari awal sampai akhir. Dewasa ini sering kita lihat bahwa kebanyakan pemimpin di negeri ini hanya menjalankan program sekedar formalitas belaka. Mereka hanya meresmikan tanpa tahu kelanjutan program tersebut. Contohnya dalam bidang pertanian, dimana di wilayah atau daerah tertentu menginginkan adanya swasembada pangan atau keberhasilan pembangunan sektor pertanian. Hal ini tentu dibutuhkan usaha dan kerja keras namun seorang kepala daerah hanya ikut meresmikan diawal, tanpa ikut pelaksanaan program yang selanjutnya, seakan menyerahkan urusan pertanian hanya pada petani semata. Seharusnya seorang pemimpin harus menjadi orang terdepan didalam menyukseskan program pertanian. Pemimpin harus mengetahui seluk-beluk di bidang pertanian, pemimpin harus memantau perkembangan harga pupuk, sarana pengairan (irigasi), ketersediaan bibit unggul, sampai pada pemasaran produksi pertanian. Hasil dari pelaksanaan program tersebut tentu akan memuaskan, panen melimpah, kesejahteraan petani meningkat dan terjangkaunya harga hasil produksi pertanian. Dengan adanya keberlanjutan program atau pengawalan program oleh pemimpin di tiap-tiap daerah atau tingkat nasional, maka hasil pembangunan akan maksimal. Tidak hanya pada bidang pertanian, namun juga menyangkut seluruh aspek kehidupan nasional, semisal di bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, politik dan lain sebagainya. Pengawalan atau keikutsertaan pemimpin dalam program pembangunan tentu akan mengurangi aspek kecurangan atau KKN, yang selama ini menjadi penyakit birokrasi. Keikutsertaan pemimpin tentu menjadi motivasi tersendiri bagi para bawahan atau pengikutnya untuk bekerja lebih giat dan tekun.