Sabtu, 15 Desember 2012
Administrasi Kepegawaian
Hubungan Kepegawaian Antara Pusat dan Daerah
A. Kepegawaian Pusat
Pembahasan tentang pengaturan eksistensi dan fungsi Badan Kepegawaian Negara (BKN) belum banyak dilakukan oleh para ahli hukum administrasi. Pembahasan mengenai pengaturan eksistensi dan fungsi BKN sebagai lembaga pemerintah yang menangani masalah masalah administrasi kepegawaian secara mendalam, sistematis dan mendasar perlu dilakukan, mengingat administrasi kepegawaian mengandung nilai strategis terhadap hak dan kewajiban Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Indonesia. Dengan cara mengatur kembali kedudukan dan fungsi, serta organisasi Badan Administrasi Kepegawaian Negara (BAKN) melalui Keputusan Presiden, dan dengan merubah namanya menjadi BKN yang diharapkan dapat meningkatkan eksistensi dan fungsinya. Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah yang perlu dibahas adalah, tentang; (1) pengaturan terhadap eksistensi BKN, dan (2) pengaturan terhadap fungsi BKN. Beranjak dari permasalahan dan setelah analisis, maka kesimpulannya adalah:
Pengaturan tentang eksistensi BKN tidak secara khusus diatur dalam bentuk peraturan tertentu, namun berhubungan dengan pengaturan tentang fungsi, yaitu pengaturan dalam Undang undang Kepegawaian, Peraturan Pemerintah (PP) dan Keputusan Presiden (Keppres). Keppres adalah bentuk pengaturan terendah. Eksistensi BKN berhubungan dengan eksistensi lembaga pemerintahan lain dalam mengatur dan menyelenggarakan administrasi kepegawaian.
BKN sebagai pembantu Presiden berkedudukan sebagai koordinator untuk mengatur administrasi kepegawaian dan sebagai pengawas dalam menyelenggarakan administrasi kepegawaian, maka kesimpulannya adalah: Di Tingkat Pemerintah Pusat; Dalam mengeluarkan peraturan kepegawaian BKN mengadakan hubungan hukum dengan: Komisi Kepegawaian Negara, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, dan Lembaga Administrasi Negara, dan dalam mengeluarkan keputusan tata usaha negara, di sampmig mempunyai kewenangan tertentu juga melakukan pengawasan yang bersifat administratif.
Pengaturan fungsi BKN ditentukan oleh badan pembentuk peraturan perundang- undangan yang melibatkan Presiden dan pejabat pemerintah lainnya. Ruang lingkup fungsi, tugas, dan kewenangan BKN dalam mengatur dan melaksanakan administrasi kepegawaian adalah: (a) merumuskan peraturan kebijaksanaan (beleidsregels, policy rules), yang terdiri atas rumusan peraturan kebijaksanaan dalam bentuk surat edaran atau keputusan dan dalam bentuk perencanaan nasional bidang kepegawaian, (b )melaksanakan peraturan kepegawaian, yaitu menetapkan keputusan tentang pengangkatan, kenaikan pangkat, pemindahan, dan pemberhentian pegawai negeri sipil yang mempunyai spesifikasi tertentu secara langsung di luar kewenangan Presiden, Pejabat Pembina Kepegawaian Pusat dan Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah.
Keberadaan Peraturan Pemerintah tentang pemberian kewenangan dalam bidang kepegawaian ini perlu diimbangi dengan penataan manajemen dan kelembagaan yang mengelola sumber daya aparatur. Selama ini, daerah otonom hanya memiliki kewenangan terbatas dalam pengelolaan sumber daya aparatur, antara lain menyangkut usulan kenaikan pangkat, usulan mutasi, usulan pengisian jabatan kerja dan usulan pemberhentian, sedangkan keputusan terakhir tetap berada di tangan Pemerintah Pusat.
B. Kepegawaian Daerah
Perubahan kebijakan desentralisasi juga diikuti dengan perubahan di bidang kepegawaian negara dari UU Nomor 8 Tahun 1974 menjadi UU Nomor 43 Tahun 1999. Berdasarkan kebijakan desentralisasi dan kepegawaian yang lama, tampaknya sistem kepegawaian daerah yang berlaku dalam praktek lebih mirip integrated national end local personnel system. Kelebihan nyata dari cara tersebut adalah kemampuan yang luar biasa dari pemerintah untuk menempatkan pegawainya di lokasi paling terpencilpun (Niessen, 1999) guna memberikan pelayanan, terutama untuk menjalankan tugas pembangunan.
Kebijakan baru desentralisasi dan kepegawaian daerah tampaknya ingin membenahi hal tersebut dengan memberikan kewenangan yang lebih besar bagi pemerintah daerah untuk mengelola sendiri pegawai negerinya sekaligus tetap dalam rangka NKRI.
Kebijakan kepegawaian bertujuan untuk mendorong pengembangan otonomi daerah.pemerintah pusat menetapkan norma, standar, dan prosedur mengenai pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, gaji, tunjangan, kesejahteraan, hak dan kewajiban serta kedudukan hokum baik PNS pusat maupun daerah.
Di Indonesia, pegawai negeri digolongkan menjadi tiga jenis, yaitu pegawai negeri sipil, anggota TNI dan anggota Polri. Pegawai negeri sipil dibagi menjadi dua, yaitu PNS pusat dan Pns Daerah. PNS daerah merupakan salah satu jenis pegawai yang menjalankan perangkat daerah dalam penyelenggaraan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pemerintah daerah.
Di Tingkat Pemerintah Daerah; Eksistensi badan ini tidak diperlukan dalam pengaturan melalui Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah, karena pengaturan administrasi kepegawaian daerah diserahkan sepenuhnya kepada daerah bersamaan dengan penyerahan otonomi daerah, dan hubungannya dengan Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah adalah dalam bentuk pengawasan yang bersifat administratif
Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah maka harus didorong desentralisasi urusan kepegawaian kepada daerah. Untuk memberi landasan yang kuat bagi pelaksanaan desentralisasi kepegawaian tersebut, diperlukan adanya pengaturan kebijakan manajemen Pegawai Negeri Sipil secara nasional tentang norma, standar, dan prosedur yang sama dan bersifat nasional dalam setiap unsur manajemen kepegawaian.
Sejalan dengan desentralisasi bidang kepegawaian kepada daerah otonom, maka unit pengelola sumber daya aparatur dalam hal ini Pegawai Negeri Sipil sudah selayaknya ditangani oleh sebuah lembaga teknis daerah berbentuk badan atau kantor.
Pembentukan Badan Kepegawaian Daerah di daerah kabupaten/kota maupun provinsi sejalan dengan bunyi pasal 34 A Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 serta Keputusan Presiden Nomor 159 Tahun 2000 tentang Pembentukan Badan Kepegawaian Daerah.
Badan Kepegawaian Daerah merupakan Perangkat Pemerintah Daerah yang berwenang melaksanakan manajemen Pegawai Negeri Sipil Daerah untuk meningkatkan pelayanan dan kinerja pegawai dalam rangka menunjang tugas pokok Gubernur, Bupati/Walikota. Kelancaran pelaksanaan tugas organisasi ini sangat tergantung pada kesempurnaan dari pegawai yang berada didalamnya yang mampu bekerja secara profesional, efektif dan efisien guna meningkatkan kelancaran roda pemerintahan.
Penyelenggaraan tugas-tugas kepegawaian di daerah ini, akan senantiasa diikuti dengan langkah pemantapan dan pengembangan pelaksanaan sistem administrasi dan manajemen kepegawaian yang hakekatnya diarahkan pula pada upaya peningkatan kualitas Pegawai Negeri Sipil Daerah agar mampu secara profesional menangani berbagai macam tuntutan tugas yang semakin kompleks, disamping meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat. Langkah ini pada dasarnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya pemantapan pelaksanaan reformasi birokrasi daerah menuju terwujudnya “Good Local Governance” dalam kerangka implementasi kebijakan otonomi daerah secara utuh.
Penyelenggaraan tugas bidang kepegawaian tersebut tetap mengacu pada kewenangan yang ada dan berlandaskan pula pada arah kebijakan umum manajemem kepegawaian sebagaimana diamanatkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian serta dalam kerangka implementasi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah beserta peraturan pelaksanaan lainnya.
Sebelumnya Badan Kepegawaian Daerah bernama Biro Kepegawaian, dan yang menjadi dasar eksistensi perubahan tersebut adalah Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian dan Keputusan Presiden Nomor 159 Tahun 2000 tentang Pedoman Pembentukan Badan Kepegawaian Daerah. Dimana dijelaskan pada pasal 34 A ayat (1) Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 yang berbunyi “Untuk kelancaran pelaksanaan manajemen Pegawai Negeri Sipil Daerah dibentuk Badan Kepegawaian Daerah”.
Rabu, 12 Desember 2012
Ekologi Administrasi Publik
1.1 Pengertian Ekologi
Secara etimologi (asal kata), ekologi berasai dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua akar kata yakni Oikos berarti rumah, rumah tangga atau tempat tinggal, logos berarti ilmu atau teori etologi mempelajari tentang seluk beluk rumah tangga alam dan biasanya dirumuskan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari hubungan timbal balik antara mahkluk hidup dengan lingkungannya. Suatu rumah tangga dibentuk oleh organisme hidup dimana organisme ini berada dalam suatu lingkungan hidup lainnya dalam kondisi dan situasi yang bermacam-macam. Organisme itu merupakan bagian dari lingkungan, maka iapun dipengaruhi oleh lingkungan tersebut. Ekologi merupakan cabang dari biologi. Dalam biologi yang terutama dipelajari adalah gejala-gejala hidup dari suatu organisme, sedangkan di dalam ekologi yang dipelajari adalah pengaruh timbal balik antara organisme hidup dengan lingkungannya.
Manusia sebagai mahkluk hidup merupakan salah satu komponen yang terpenting dalam proses saling pengaruh mempengaruhi antar manusia dan antara manusia dengan lingkungan. Agar mudah di pahami, maka untuk selanjutnya lingkungan ini dapat dibagi dalam tiga kelompok dasar yang sangat menonjol, yakni :
1. Lingkungan fisik (physical environment);
2. Lingkungan biologi (biological environment):
3. Lingkungan sosial (social environment).
Kemudian lebih lanjut dikatakan bahwa “Ekologi merupakan suatu synthesa, suatu penilai paduan kembali daripada hasil-hasil studi yang telah dilakukan terhadap unsur-unsur masing-masing dan satu persatu yang diperoleh dengan analisa” ( S. Prajudi Atmosudirdjo : 1978 : hal.14). Penilai paduan kembali itu perlu dilakukan karena studi yang dilakukan oleh para sarjana atau para ahli, sesuai dengan keahliannya masing-masing dapat dihimpun dan disatukan, sehingga menghasilkan suatu prestasi yang baik dan tinggi. Di dalam kita melakukan penilaian paduan kembali, maka ada azas-azas yang sangat perlu di perhatikan antara lain” Azas interdependensi, azas perubahan dan azas evolusi” (S. Prajudí Atmosudirdjo : 1978 : hal.15).
Azas interdependensi yaitu azas hubungan antara manusia dan manusia, antara manusia dengan flora, antara flora dengan fauna dan antara iklim dan sebagainya. Azas perubahan (the principle of change) adalah segala apa yang hidup selalu mengalami perubahan atau berubah. Azas evolusi yaitu azas yang mengatakan bahwa semua perubahan yang terjadi di dunia ini selalu berlangsung dengan secara bertahap, berarti suatu perubahan itu terjadi tidaklah secara meloncat. Alam tidak suka kepada yang meloncat, bahkan kematian, atau suatu mala petaka misalnya gempa bumi, wabah dan sebagainya itu bagi orang yang sempat mengikuti proses perkembangan sebelumnya sebenarnya bukanlah bersirat mendadak.
Dari pengertian - pengertian di atas maka dapatlah ditarik kesimpulan bahwa lingkungan mempunyai batas tertentu dan ísi tertentu. Secara praktis ruang lingkungan itu dapat ditentukan oleh faktor alam, faktor sosial dan sebagainya. Sedangkan secara teoritis batas lingkungan sulit untuk ditentukan. Adapun isi dari suatu lingkungan meliputi semua benda baik hidup ataupun mati serta kondisi-kondisi ada di dalamnya yang saling kait mengkait (berinteraksi) antara satu dengan yang lainnya.
1.2 Ekologi Administrasi Publik
Pengertian Ekologi Administrasi Publik adalah serangkaian proses yang terorganisir dari suatu aktivitas publik atau kenegaraan yang bertujuan untuk memecahkan masalah-masalah publik melalui perbaikan-perbaikan terutama di bidang organisasi, sumberdaya manusia, dan keuangan. Dengan demikian ekologi administrasi publik yaitu suatu ilmu yang mempelajari adanya proses saling mempengaruhi sebagai akibat adanya hubungan normatif secara total dan timbal balik antara pemerintah dengan lembaga-lembaga tertinggi negara maupun antar pemerintah, vertikal-horisontal, dan dengan masyarakatnya.
Dimensi pemerintahan dapat dikaji berdasarkan salah satu teori dari Aristoteles, yaitu teori organisme. Asumsi teori ini menyatakan bahwa negara atau pemerintahan itu adalah kodrat danmerupakan satu organisme yang mempunyai kehidupan tersendiri. Dalam bukunya “politics” Aristoteles menyatakan bahwa negara adalah satu masyarakat paguyuban (perkumpulan) yang paling tinggi diatas masyarakat paguyuban lainnya. “Dimana negara bersifat kodrat dan memiliki semua sifat organisme yang terdapat pada mahluk hidup”. Tingkatan paguyuban menurut Aristoteles yaitu : 1.keluarga, 2. kehidupan bermasyarakat secara berkelompok, 3. kehidupan bernegara.
Penyesuaian dalam dimensi pemerintahan :
1. Penyesuaian kedaulatan dengan pencapaian tujuan dalam kehidupan bernegara.
2. Penyesuaian dengan lingkunagannya, baik factor lingkungan eksternal dan internal.
Disamping penyesuaian kedaulatan tersebut harus ada keseimbangan diantaranya :
a. Kelompok masyarakat dengan kelompok lain.
b. Kehidupan kelompok dengan kehidupan pereorangan (individu)
c. Hubungan antara individu dengan individu lainnya.
d. Hubungan antara warga dengan sumber daya dan kekayaan alam yang tersedia.
e. Hubungan warga negara perseorangan dan secara bersama dengan lingkungansosial, budaya, dan lingkungan alam semesta.
Menurut Prof. F.W. Riggs menyebutkan ada 5 hal yang mempengaruhi bekerja suatu sistem dalam ekologi pemerintahan : 1. keadaan penduduk, 2. struktur social, 3. sistem ekonomi, 4. ideologi negara, dan 5. sistem politik Sedangkan menurut Farrel Weady yang mempengaruhi bekerja suatu sistem dalam ekologi pemerintahan yaitu : 1. keadaan penduduk, 2. wilayah, 3. teknologi, 4. cita-cita dan harapan, dan 5. kepribadian.
1.3 Faktor-Faktor Ekologis Dalam Administrasi Publik
Meskipun belum adanya keseragaman dari para ahli dalam memberikan batasan atau klasifikasi dari faktor-faktor sosial yang dominan yang harus diperkirakan dalam mengembangkan dan membina administrasi pemer intahan, penulis dalam hai ini hanya mengemukakan beberapa pendapat saja dari para sarjana.
Drs. S. Pamudji, MPA. menyatakan sebagai berikut :
Environment adalah ruang hidup yang di dalamnya terdapat facet-facet yang kesemuanya mempengaruhi living organism dan sebaliknya. Facet-facet itu adalah :
a. Fisis geografis yang meliputi tanah, air, sungai, gunung, udara.
b. Non fisis geografis yang mencakup idiologi, politik, ekonomi, sosial budaya, hankam (S. Pamudji : 1979 ; hal.2).
Prof. Fred. W. Riggs membagi faktor ekologis tersebut ke dalam lima aspek, yaitu :
1. Ekonomi
2. Sosial
3. Symbol
4. Komunikasi
5. Politik (S. Pamudji : 1979 : hal.6).
Prof. John Gous membagi pula faktor-faktor 1ingkungan tersebut sebagai berikut :
1. Penduduk
2. Tempat
3. Teknologi fisik
4. Teknologi sosial
5. Cita-cita dan keinginan-keinginan
6. Bencana
7. Kepribadian (S. Pamudji : 1979 : hal.3).
Dalam rangka pembinaan Ketahanan Nasional, maka Sondang P. Siagian, MPA. Ph.D, membagi faktor-faktor ekologis sebagai berikut :
1. Faktor geografis
2. Faktor penduduk
3. Faktor kekayaan alan
4. Faktor ideologi
5. Faktor politik
6. Faktor ekonomi
7. Faktor sosial budaya
8. Faktor kekuatan militer (Sondang P.Siagian : 1979 : hal.88).
Selanjutnya Prof. DR. Mr. S. Prajudi Atmosudirdjo membagi pula faktor ekologis dari administrasi yang dominan ke dalam dua aspek yakni : “Unsur-unsur alam geografis fisik dan unsur-unsur kemanusiaan (S. Prajudi Atmosudirdjo : 1976 : hal.17).
Dari beberapa pendapat sarjana tersebut di atas maka penulis membatasi diri pada beberapa faktor lingkungan yang paling dominan berpengaruh terhadap administrasi pemerintahan, yaitu politik, ekonomi, sosial, budaya, dan hankam.
Definisi Good Governance
DEFINISI TATA KEPEMERINTAHAN YANG BAIK (GOOD GOVERNANCE)
Tata kepemerintahan yang baik (Good governance) merupakan suatu konsep yang akhir-akhir ini dipergunakan secara reguler dalam ilmu politik dan administrasi publik. Konsep ini lahir sejalan dengan konsep-konsep dan terminologi demokrasi, masyarakat sipil, partisipasi rakyat, hak asasi manusia, dan pembangunan masyarakat secara berkelanjutan.
United nations development programme (UNDP) merumuskan istilah governance sebagai suatu exercise dari kewenangan politik, ekonomi, dan administrasi untuk menata, mengatur dan mengelola masalah-masalah sosialnya (UNDP,1997) istilah governance menunjukkan suatu proses dimana rakyat bisa mengatur ekonominya, institusi dan sumber-sumber sosial dan politiknya tidak hanya dipergunakan untuk pembangunan, tetapi juga untuk menciptakan kohesi, integrasi, dan untuk kesejahteraan rakyatnya. Dengan demikian jelas sekali, bahwa kemampuan suatu negara mencapai tujuan-tujuan pembangunan itu sangat tergantung pada kualitas tata kepemerintahannya dimana pemerintah melakukan interaksi dengan organisasi-organisasi komersial dan civil society.
Tata kelola pemerintahan yang baik merupakan kondisi yang menjamin adanya keseimbangan peran, saling mengontrol yang dilakukan oleh tiga komponen, yakni pemerintah, masyarakat dan sektor swasta. Ketiga komponen itu mempunyai tata hubungan yang sama dan sederajat. Kesamaan derajat ini akan sangat berpengaruh terhadap upaya menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik. Jika kesamaan derajat itu tidak sebanding, maka akan terjadi pembiasan dari tata pemerintahan tersebut.
Upaya untuk menyeimbangkan ketiga komponen tersebut merupakan peran yang harus dimainkan oleh ilmu administrasi publik. Jika peran yang dimainkan tidak mampu menjamin adanya kongruensi dan cohesiveness antara ketiganya, maka akan terjadi ketidak seimbangan, karena ada kemungkinan satu komponen mempengaruhi bahkan menguasai komponen lainnya.
Di dalam tatanan kepemerintahan yang demokratis, komponen rakyat (civil society) harus memperoleh peran yang utama. Hal ini didorong oleh suatu kenyataan bahwa dalam sistem yang demokratis , kekuasaan tidak berada di penguasa melainkan rakyat.
Demikian juga peran sektor swasta sangat mendukung terciptanya proses keseimbangan kekuasaan yang berlangsung dalam tata kepemerintahan yang baik. Jika sektor swasta terlalu mendominasi, maka akan tercipta sistem administrasi publik yang kolusif dan nepotism, dimana adanya kepentingan konglomerat dan pengusaha swasta dalam pemerintahan. Jika kekuasaan negara terlalu besar, maka akan tercipta sistem administrasi publik yang sentralistik.
Ilmu administrasi publik berperan untuk menjaga agar ketiga komponen itu tidak lemah posisinya satu sama lain, dan tidak saling mendominasi. Jika ketiganya lemah akan menimbulkan situasi yang chaos. Dan jika salah satunya ada yang lemah akan menimbulkan tata pemerintahan yang tidak serasi.
Konstelasi keseimbangan dari tiga komponen yang tidak imbang tersebut membawa pengaruh besar terhadap tata kepemerintahan yang baik. Ilmu administrasi publik berfungsi menjamin agar suatu sistem dalam mekanisme pemerinntahan berada dalam posisi seimbang, dimana peran rakyat amat menentukan.
Setting dari tiga komponen itu dalam pengalaman sistem administrasi publik kita hingga kini mengalami beraneka macam bentuknya. Ketika pemerintahan pertama setelah merdeka hubungan antara rakyat dan negara sangat baik, namun peran swasta masih elum Nampak. Setela itu Bung Karno memberikan angin kepada sektor swasta, tetapi selang beberap bulan, peran rakyat melalui partai politik tampak berpengaruh. Keadaan ini berlangsungcukup lama dan merisaukan militer Bung Karno sendiri. Situasi ini membuat Bung Karno kembali pada UUD 45 yang memberikan peran besar kepada pemerintah.
Ketika orde baru, konstelasi keseimbangan ketiga komponen tersebut beralih tekanannya. Peran pemerintah sangat dominan, rakyat terpuruk pada posisi paling bawah. Sementara itu usahawan yang dikenal dengan sebutan konglomerat memperoleh kelonggaran peran oleh pemerintah yang bisa menghimpit peran rakyat bahkan bisa dikatakan peran konglomerat berada di atas penguasa pemerintah.
Ada pihak yang mengatakan bahwa situasi saat itu, komponen konglomerat memegang tampuk kekuasaan yang melebihi dari kekuasaan pemerintah. Para pejabat pemerintah disuap, dibeli dan dimainkan oleh konglomerat. Banyak kebijakan pemerintah yang memberikan keuntungan lebih besar kepada sektor swasta ini.
Kita harapkan di masa-masa yang akan datang konstelasi ketiga komponen itu bisa menimbulkan hubungan yang kohesif, kongruen, selaras, dan kesetaraan. Sehingga masing-masing komponen mempunyai peran yang sama-sama pentingnya dalam menciptakan tatanan kepemerintahan yang baik.
Timbulnya korupsi sebagai salah satu penyakit yang menghalangi terciptanya tatanan kepemerintahan yang baik, karena pada hakikatnya keseimbangan peran dari ketiga komponen tersebut berat sebelah. Peran pemerintah yang sentral memberikan kontribusi yang besar terhadap komponen sektor swasta (business) tanpa diimbangkan peran rakyat untuk bisa mengotrolnya. Komponen rakyat sebagai pemegang kekuasaan di negeri ini memberikan sebagian kekuasaan nya kepada pemerintah.
Selain dari itu,terciptanya keseimbangan dari tiga komponen tersebut sangat tergantung pada upaya untuk selalu berpegang pada ditegakkannya hokum secara konsekuen. Landasan hukum perlu dipegang secara teguh dan adil. Mesin administrasi pemerintah dijalankan di atas aturan dan hukum.
Penyalahgunaan hukum,aturan, wewenang, dan kekuasaan dalam administrasi pemerintah ini memperlemah kontrol sosial dan akuntabilitas para pejabat pemerintah. Rakyat tidak lagi mampu melakukan akses kepada pejabat untuk meminta ketegasan terhadap hukum. Rakyat tidak berdaya menghadapi aturan yang dibuat oleh administrasi pemerintah dan dipergunakan hanya untuk melindungi kepentingan pejabat sendiri.
Sabtu, 10 November 2012
RAGAM SISTEM KOMUNIKASI POLITIK DENGAN KARAKTERISTIKNYA
Dalam kajian ilmu komunikasi (komunikasi politik) terdapat empat macam sistem komunikasi, yaitu : sistem otoriter, sistem liberal, sistem komunis, dan sistem tanggung jawab sosial.
1. Sistem Otoriter (authoritarianism)
Dasar pemikiran Sistem Otoriter muncul dari para tokoh seperti Machiavelli (Il Principle, 1450), Thomas Hobbes (De Cive), dan G.W. Friederich Hegel (“Grundlinien der Philosophie des Rechts”). Kesimpulan dari beberapa buah pemikiran tokoh-tokoh tersebut yaitu :
1. Negara merupakan organisasi kekuatan belaka (loutere machtsorganisatie) atau “machstaat”. Artinya adalah mempertahankan kekuatan dan menjalankan kekuatan, karena yang diutamakan adalah hanya kepentingan Negara. Apabila perlu, maka Negara menindas kepentingan individu guna kepentingan Negara (Machiavelli, Il Principle).
2. Negara perlu diberikan kekuatan yang tak terbatas atau disebut “leviathan mahakuasa”. Masyarakat perlu mengadakan perjanjian Negara (factum unionis) yang melahirkan Negara sebagai dasar penyerahan semua hak rakyat kepada organisasi itu (Thomas Hobbes, De Cive).
3. Tujuan Negara yaitu menyelenggarakan kepentingan umum. Di atas Negara tidak ada kekuasaan lain. Negara adalah kekuasaan tertinggi di atas dunia. Semua masyarakat dapat berpartisipasi dalam upaya pemerintahan, namun akan tampak jurang pembeda antara penguasa sebagai pemimpin, dan rakyat sebagai yang dipimpin (G.W. Friederich Hegel, Grundlinien der Philosophie des Rechts).
Sistem otoriter memiliki ciri-ciri sebagai beikut :
1. proses komunikasi berlangsung secara vertikal
2. feedback dari rakyat hampir tidak tampak
3. tema pesan komunikasi dalam bentuk: menumbuhkan sifat-sifat pengkultusan, mewujudkan loyalitas pengabdian, orientasi kewilayahan, mewujudkan integrasi sikap, perilaku terhadap sistem dogma Negara
4. pendapat umum tidak berkembang bahkan cenderung tidak ada
5. media massa dikendalikan dan dikontrol secara ketat.
2. Sistem Libertarian ( Libertarian System)
Konsep-konsep pemikiran tentang sistem libertarian berawal dari adanya “Piagam Agung” atau Magna Charta pada tahun 1225 yang berisi pengakuan raja absolute atas hak-hak istimewa kaum bangsawan. Pengakuan tersebut merupakan tonggak aspirasi demokrasi dan tonggak hak-hak azasi manusia.
Sejumlah tokoh yang terilhami oleh Magna Charta adalah seperti Montesquieu, John Locke, dan Joseph Scumpeter dan Milton. Kesimpulan yang bisa diambil dari pemikiran tokoh-tokoh tersebut diantaranya :
1. Montesquieu dan John Locke menghubungkan pandangan mengenai masyarakat yang berubah dengan pandangan mengenai pemerintah yang stabil melalui pemecahan “liberal”. Warga Negara mengadakan pengawasan terhadap kekuasaan eksekutif dilakukan oleh suatu lembaga yang menyalurkan aspirasi rakyat, yaitu “lembaga legislatif”.
2. Joseph Scumpeter mengartikan bahwa demokrasi liberal muncul dengan sistem ekonomi kapitalis. Peran rakyat dalam suatu masyarakat demokrasi adalah tidak untuk memerintah atau bahkan untuk menjalankan keputusan umum atau kebijaksanaan politik. Peran rakyat melalui pemilihan umum adalah untuk menghasilkan suatu pemerinrtahan atau badan lainnya.
3. Dokumen anti authoritarianism yang disebut “Milton’s Aeropagatica” mengungkapkan tentang kebebasan pers yang berlandas pada pemikiran manusia yang memiliki kearifan. Milton berkeyakinan bahwa manusia dengan kearifannya akan mampu membedaan antara yang baik dan buruk. Menurut Milton manusia berdiri sendiri dan rasional. Adanya Negara hanya bagian dari alam sekitar untuk kepentingan manusia, karenanya manusia dapat mengembangkan potensi dirinya dan dapat mencapai kebahadiaan semaksimal mungkin.
Dalam sistem libertarian setiap individu manusia bebas untuk memasarkan ide, pendapat pikiran, kritik baik melalui media massa maupun melalui cara-cara lain selama dijamin undang-undang.
3. Konsep Social Responsibility (Tanggung jawab sosial)
Berbeda dengan sistem lainnya, sistem tanggung jawab sosial tidak dikualifikasikan sebagai suatu sistem, karena belum ada satu Negara pun yang dapat dijadikan tolak ukur untuk memberi penilaian terhadap konsep tanggung jawab sosial. Karena itu konsep ini lebih bersifat kajian-kajian teoritis dan ide-ide keilmuan. Hal ini dapat diperhatikan dari pernyataan John Merril sebagai salah seorang konseptor konsep ini. Menurut Merril konsep social responsibility memberi keganjilan, karena Uni Soviet sebagai penganut faham Marxisme mengklaim bahwa pers Uni Soviet berdasar kepada “social responsibility”.
Konsep social responsibility merupakan modifikasi dari konsep liberal klasik. Kajian ini berada di ambang semu yaitu berada diantara authoritarianism dengan libertarianism. Apabila Negara terlalu jauh mengadakan pengendalian dan control yang ketat terhadap pers khususnya dan proses komunikasi umumnya, maka konsep bergeser ke authoritarianism. Sebaliknya apabila Negara memberi kebebasan maka konsep cenderung ke kajian system libertarianism.
Menurut Rivers, pemerintah tidak perlu turut campur dan mengadakan control terlalu jauh. Apabila “social responsibility” ditentukan oleh jurnalis tentu akan memuaskan. Sebaliknya apabila diatur oleh pemerintah, maka tak ubahnya seperti system authoritarianism yang ketat oleh berbagai aturan.
4. Sistem Komunis
Sistem komunis atau totaliter menempatkan seluruh sumber komunikasi berikut pengelolaan media massa berada pada tangan pemerintah dan partai komunis. Sistem komunis berpola pada hasil pemikiran Karl Marx yang mengangkat teori “Historis Materialisme” yang menjadi doktrin komunis.
Karakter yang muncul dalam sistem komunis tidak tampak jelas antara subsistem suprastruktur dengan subsistem infrastruktur. Karena kehidupan infrastruktur politik (partai politik) menyatu dengan suprastruktur. Hal ini mengandung makna bahwa partai politik selain sebagai lembaga infrastruktur berada pula pada suprastruktur, bahkan partai politik mengendalikan suprastruktur politik.
Karena itu sumber-sumber kehidupan termasuk sumber-sumber komunikasi berada pada pemerintah dan partai komunis (sebagai suprastruktur politik) atau seluruh kehidupan negara bersifat sentralisasi.
Sistem komunikasi yang berdasar ajaran Marxisme bersifat tertutup terhadap nilai-nilai luar. Pada dasarnya sistem komunis menunjukkan karakter yang sama, baik dalam sentralisasi pengelolaan sumber komunikasi maupun pengelolaan bidang media massa. Di Cina, orang-orang non professional koresponden bertugas mengkopi tulisan wartawan.
referensi :
Dan Nimmo, Komunikasi Politik Khalayak dan Efek
Ide atau Gagasan tentang Gaya Kepemimpinan di Indonesia
Indonesia mengalami krisis multidimensi sampai detik ini. Krisis tersebut mendera berbagai bidang, mulai dari ekonomi, politik, budaya, sains, kesehatan, dan kemanusiaan. Seakan tidak ada jalan keluar dari semua krisis tersebut. Adapun salah satu krisis yang paling nyata kita hadapi adalah krisis kepemimpinan.
Kita mengalami kegamangan dalam memilih tipe kepemimpinan yang tepat untuk negeri kita yang tercinta. Ada sebagian intelektual, yang menganjurkan ‘westernisasi’, yaitu secara total mengikuti gaya kepemimpinan Amerika Serikat atau Eropa. Ada juga sebagian yang merasa panik dengan gelombang globalisasi dan westernisasi, dan memilih berlindung di balik jubah primordialisme, entah berbasis agama, etnis, atau ras. Jaman sekarang, seakan-akan suri teladan dari founding father kita, yaitu Soekarno-Hatta, untuk memadukan timur dan barat seakan sudah dilupakan. Era globalisasi mengharuskan kita melakukan redefinisi mengenai makna kepemimpinan. Bukan bersandar pada romantisme masa lalu semata, namun juga bukan semata melakukan imitasi buta.
Gagasan saya mengenai gaya kepemimpinan di Indonesia adalah seorang pemimpin yang mampu mengawal program kerja dari awal sampai akhir. Dewasa ini sering kita lihat bahwa kebanyakan pemimpin di negeri ini hanya menjalankan program sekedar formalitas belaka. Mereka hanya meresmikan tanpa tahu kelanjutan program tersebut.
Contohnya dalam bidang pertanian, dimana di wilayah atau daerah tertentu menginginkan adanya swasembada pangan atau keberhasilan pembangunan sektor pertanian. Hal ini tentu dibutuhkan usaha dan kerja keras namun seorang kepala daerah hanya ikut meresmikan diawal, tanpa ikut pelaksanaan program yang selanjutnya, seakan menyerahkan urusan pertanian hanya pada petani semata. Seharusnya seorang pemimpin harus menjadi orang terdepan didalam menyukseskan program pertanian. Pemimpin harus mengetahui seluk-beluk di bidang pertanian, pemimpin harus memantau perkembangan harga pupuk, sarana pengairan (irigasi), ketersediaan bibit unggul, sampai pada pemasaran produksi pertanian. Hasil dari pelaksanaan program tersebut tentu akan memuaskan, panen melimpah, kesejahteraan petani meningkat dan terjangkaunya harga hasil produksi pertanian.
Dengan adanya keberlanjutan program atau pengawalan program oleh pemimpin di tiap-tiap daerah atau tingkat nasional, maka hasil pembangunan akan maksimal. Tidak hanya pada bidang pertanian, namun juga menyangkut seluruh aspek kehidupan nasional, semisal di bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, politik dan lain sebagainya.
Pengawalan atau keikutsertaan pemimpin dalam program pembangunan tentu akan mengurangi aspek kecurangan atau KKN, yang selama ini menjadi penyakit birokrasi. Keikutsertaan pemimpin tentu menjadi motivasi tersendiri bagi para bawahan atau pengikutnya untuk bekerja lebih giat dan tekun.
Jumat, 09 November 2012
Langganan:
Postingan (Atom)